
Sejarah Bangsa dalam Keheningan di Ruang Kelas
Kontributor: Nur Hidayati - The University of Queensland
Para pelajar generasi sekarang seringkali dijatuhi kesan negatif sebagai generasi yang tak paham sejarah atau generasi tanpa sejarah. Mereka disambut oleh dunia digital sejak dilahirkan. Informasi dari layar gawai datang cepat dan bertubi-tubi, digiring algoritma yang semakin sulit dikontrol, menghanyutkan mereka di dalamnya. Tapi bukan hanya media sosial, sistem dan kurikulum pendidikan, terutama terkait pelajaran sejarah, memiliki andil dalam mencerabut pengetahuan akan sejarah dari generasi masa kini. Idealnya, pelajaran sejarah menjadi komponen penting bagi setiap siswa sebagai warga negara tidak saja untuk memahami perjalanan bangsa, tetapi juga dalam membangun identitas diri, menumbuhkan sikap kritis dan humanis terhadap masa kini. Namun dalam praktiknya, pengajaran sejarah di sekolah masih jauh dari harapan tersebut.
Dari masa ke masa, pelajaran sejarah semakin kehilangan tempatnya dalam sistem pendidikan. Kurikulum 1947 dan 1952 adalah kurikulum awal pasca kemerdekaan Indonesia yang diliputi semangat kebangsaan awal. Keduanya memuat pelajaran sejarah perjuangan nasional sejak level dasar (kurikulum.kemdikbud.go.id). Kurikulum berganti sembilan kali sejak saat itu (1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, 2022) dan berubah pula struktur mata pelajaran dan distribusi jam pembelajaran pada masing-masingnya. Mata pelajaran sejarah diajarkan secara khusus sejak di bangku dasar pada kurikulum 1952 dan 1994, sementara di kurikulum 1947, 1964, 1968, dan 1975 baru mulai diberikan pada bangku SMP. Adapun pada kurikulum 1984 dan kurikulum dari 2004 sampai 2022, mata pelajaran sejarah hanya disisipkan atau diintegrasikan dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS (kemdikbud.go.id). Pelajaran ini baru secara khusus disampaikan di bangku SMA, dengan muatan materi yang sangat padat dan jam terbatas.
Demikian juga dalam kurikulum yang berlaku saat ini. Pelajaran sejarah yang hanya diadakan di tingkat SMA dialokasikan dalam 84 jam di kelas X, 140 jam di kelas XI, lalu kembali 84 jam di kelas XII. Di tingkat SD dan SMP sejarah tidak diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri dan masih digabungkan dalam pelajaran IPS. Padahal, pemahaman sejarah idealnya ditanamkan sejak dini agar dapat berkembang secara bertahap. Dengan tiadanya pembelajaran sejarah sejak bangku sekolah dasar hingga menengah pertama, generasi muda tak hanya tak hanya kehilangan pengetahuan sejarah, tetapi juga rasa terhubung pada sejarah bangsa sendiri.
Namun, permasalahan bukan hanya pada kuantitas waktu. Problem lain yang tidak bisa diabaikan adalah tidak sinkronnya tujuan pembelajaran sejarah dengan praktik di lapangan. Sebut saja pendidikan sejarah dalam kurikulum 2013 yang secara eksplisit dimaksudkan menjadi mata pelajaran yang sarat keterampilan dan cara berpikir sejarah. Siswa seharusnya mampu mengaitkan peristiwa sejarah yang bersifat nasional dan lokal, serta terinspirasi dari nilai-nilai kebangsaan (sma.dikdasmen.go.id). Lebih detail dalam kurikulum merdeka, siswa dituntut mampu menghubungkan peristiwa lampau dengan saat ini agar dapat memproyeksikan masa depan, melatih kemampuan berpikir diakronis, sinkronis, kausalitas, kreatif, kritis, reflektif, dan kontekstual, juga terampil melakukan penelitian sejarah dengan tahapan yang terstruktur dengan output informasi sejarah digital dan non digital (Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, 2022).
Realitasnya berbeda, alih-alih mengembangkan pemikiran reflektif, pelajaran sejarah lebih sering menjadi ajang menghafal tahun, tokoh, tanggal pertempuran dan tempat peristiwa, tanpa makna mendalam. Bukannya membentuk kesadaran dan memahami kompleksitas serta kontradiksi masa lalu, pengetahuan faktual yang diujikan segera dilupakan setelah penilaian di sekolah berakhir. Pendekatan yang terlalu kognitif dan mengabaikan pemahaman konteks yang melatarbelakangi setiap peristiwa, membuat pelajaran ini menjadi ilmu langit, tidak membumi, tak menyentuh kesadaran. Sejarah tidak disajikan sebagai proses dialektika yang dinamis, melainkan seperti ensiklopedia beku. Akhirnya pembelajaran sejarah tidak benar-benar membentuk daya kritis atau kepekaan terhadap ketidakadilan yang masih berlangsung hari ini. Padahal semestinya, sejarah adalah ruang di mana murid bisa belajar empati, mengenali ketidakadilan, dan membangun keberanian moral untuk menyikapi masa kini.
Karena tidak tersampaikan secara dua arah dan kurang melibatkan nalar kritis, narasi sejarah yang diajarkan di sekolah juga kerap menciptakan miskonsepsi yang berujung pada dehumanisasi tokoh sejarah. Misalnya, para pahlawan nasional selalu digambarkan sebagai orang-orang yang secara sadar "membela Indonesia", padahal saat itu konsep negara Indonesia belum terbentuk secara politis seperti sekarang. Faktanya, banyak tokoh-tokoh yang dikenalkan sebagai pahlawan, berjuang karena membela nilai keadilan, kemanusiaan, dan perlawanan terhadap penindasan kolonial, bukan karena kesadaran nasionalisme yang seragam. Penyederhanaan ini menghilangkan kompleksitas dan kemanusiaan para tokoh sejarah. Cut Nya’ Dien mengangkat senjata karena marah atas pembunuhan suaminya, dan bentuk perlawanan atas penjajahan Aceh. Perang Jawa 1825-1830 melibatkan masyarakat Jawa secara masif sebagai bentuk penolakan Diponegoro atas intervensi Belanda pada tanah leluhurnya.
Problem krusial lainnya dalam pelajaran sejarah adalah penyampaian materi yang seolah berhenti di masa Orde Baru. Dalam tujuh halaman modul Sejarah Indonesia Kelas XII tahun 2020 (repositori. Kemdikbud.go.id) masa awal reformasi 1998 dinarasikan sebagai kebijakan Suharto untuk memperkuat kedudukan negara yang memicu krisis multidimensional (politik, ekonomi, hukum, sosial, kepercayaan), bukannya mencetak tebal aksi Reformasi 1998 yang menjadi tonggak perlawanan mahasiswa dan masyarakat atas 32 tahun penguasaan orde baru. Porsi materi ini hanya satu per sembilan dari kompetensi dasar lainnya di kurikulum 2013. Adapun dalam kurikulum merdeka, dua dari 31 topik bahasan terkait reformasi dalam durasi 84 jam pelajaran hanya ditujukan agar siswa mampu menjelaskan keterkaitan antara kebijakan politik ekonomi pemerintah pada awal reformasi (1998-2000) dan pada masa reformasi (2000-2009). Peristiwa penting seperti kerusuhan Mei 1998, demonstrasi mahasiswa dan masyarakat untuk menggulingkan Soeharto, dan transisi menuju era demokrasi, belum menjadi agenda kurikulum sekolah. Peristiwa yang sangat berpengaruh terhadap dinamika bangsa justru absen dari buku sejarah.
Sebagaimana istilah bahwa sejarah ditulis oleh pemenang, kurikulum sejarah tidak saja membatasi ruang interpretasi, tetapi juga cenderung menghindari pembahasan soal pelanggaran HAM berat di Indonesia. Tragedi 1965: pembantaian massal, penghilangan orang-orang yang dicap PKI tanpa proses hukum, kamp-kamp tahanan politik, hingga dampaknya bagi keluarga korban selama puluhan tahun, hanya disinggung sekilas atau malah tidak ada sama sekali. Tragedi Talangsari, penembakan misterius (Petrus), kekerasan negara di Timor Timur, Papua, dan Aceh, semua itu seakan tidak pernah terjadi dalam narasi resmi sejarah.
Bukan hanya peristiwa saja yang terabaikan, tetapi juga siapa yang dianggap sebagai bagian dari sejarah itu sendiri. Sudut pandang perempuan hampir tidak pernah muncul dalam buku-buku sejarah. Perempuan biasanya hanya disebut sebagai istri tokoh penting atau kadang-kadang sebagai yang ikut berjuang, itupun dengan cerita yang cenderung menampilkan peran mereka secara pasif dan domestik. Padahal, perempuan justru menjadi korban langsung dalam banyak peristiwa sejarah. Contohnya pada tragedi 1965, ribuan perempuan ditangkap, disiksa, dan dilecehkan secara seksual karena dituduh terlibat dengan Gerwani, namun mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk bersuara di ruang publik. Kisah-kisah mereka nyaris tak ditemukan dalam buku pelajaran sejarah, apalagi di sekolah-sekolah.
Hal serupa juga terjadi pada kelompok ras dan etnis tertentu. Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka yang dalam bagi komunitas Tionghoa Indonesia mulai dari penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, hingga kekerasan sistemik. Namun pengalaman mereka hampir tidak pernah diabadikan dalam buku sejarah sekolah. Dalam narasi besar sejarah yang ditulis ulang, mereka tetap diposisikan sebagai “yang lain”, bukan sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang juga mengalami penderitaan dan layak mendapatkan pengakuan.
Ironisnya, sejumlah kajian lebih memotret problematika pelajaran sejarah melalui aspek kognitif siswa seperti asesmen hasil belajar sejarah atau rendahnya nilai ujian atau daya serap materi, dibanding melakukan kritik terhadap filosofi pendidikan sejarah itu sendiri: apakah pelajaran ini mampu menumbuhkan kemanusiaan? Apakah siswa jadi lebih empatik terhadap korban pelanggaran HAM? Apakah mereka bisa membedakan narasi propaganda dan fakta sejarah?
Di tengah minimnya pengajaran sejarah yang kritis di sekolah, ruang-ruang diskusi sejarah mulai diisi oleh pihak non-sejarawan. Konten kreator, influencer, bahkan tokoh politik menyampaikan narasi sejarah versi mereka sendiri. Buku sejarah populer atau fiksi sejarah terkadang menjadi pilihan bagi orang-orang yang menginginkan kebenaran sejarah yang lebih ringan dicerna. Sayangnya, tidak semua penulis tentang sejarah memahami dan mematuhi metode penulisan sejarah. Meskipun fenomena ini tidak sepenuhnya buruk, tetapi ada risiko besar jika narasi sejarah dibentuk oleh mereka yang tidak menggunakan pendekatan ilmiah dan kritis. Karya sejarah, bahkan jika berbentuk fiksi, tetap saja harus menerapkan tahapan penulisan sejarah, meliputi pengumpulan sumber yang berasal dari masa terdekat dan relevan serta pengecekan keaslian dan kebenaran sumber, sebelum memberikan interpretasi dan menyajikan karya. (Gottschalk, 1950)
Belum selesai dengan itu semua, kini muncul tantangan baru lagi: penulisan ulang sejarah nasional. Pertanyaannya, apakah upaya ini bertujuan memperkaya perspektif, atau justru menyederhanakan narasi demi kepentingan tertentu? Jika agenda penulisan ulang sejarah tidak mencerminkan keberagaman suara dan sekadar dituliskan untuk menyaring kenyataan, maka buku sejarah benar-benar akan kehilangan ruhnya. Ia tak lagi menjadi alat untuk memahami masa lalu secara utuh, melainkan menjadi mekanisme pelupa massal. Kita diajarkan untuk hanya mengenang kemenangan, pahlawan, dan prestasi, bukan luka, kegagalan, dan pengkhianatan.
Apa yang kita butuhkan hari ini bukan hanya lebih banyak jam pelajaran sejarah, tetapi sejarah yang benar-benar berpihak pada kebenaran. Sejarah yang memberi tempat bagi mereka yang selama ini dibungkam, korban kekerasan, perempuan yang dilupakan, etnis yang disingkirkan, dan komunitas yang dianggap tak penting dalam narasi besar nasionalisme. Ini bukan lagi tentang mempertanyakan pelajaran sejarah dan memperbaiki isi kurikulumnya, tetapi bagaimana agar sejarah bisa ditulis secara inklusif oleh semua elemen masyarakat, kemudian menjadi ruang renungan bagi setiap warga negara, serta disampaikan secara terbuka terutama kepada pelajar sebagai generasi penerus, sebagai pelajaran dari masa lalu untuk mengantisipasi kesalahan dan merancang cita-cita masa depan. []
Referensi:
Adam, A. W. (2006). Pelurusan sejarah Indonesia. Ombak.
Farid, H. (2005). Indonesia’s original sin: Mass killings and capitalist transition, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), 3–16. https://doi.org/10.1080/1464937042000301123
Kemendikbudristek. (2022). Capaian pembelajaran SMA/MA Kurikulum Merdeka. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3), 411–427. https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1341188
McGregor, K. (2007). History in uniform: Military ideology and the construction of Indonesia’s past. NUS Press.
Noor, F. A. (2021). Rethinking the nation: Historical writing in contemporary Indonesia. ISEAS Publishing.
Purdey, J. (2006). Anti-Chinese violence in Indonesia, 1996–1999. University of Hawaii Press.
Ricoeur, P. (2004). Memory, history, forgetting (K. Blamey & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ditulis oleh Directorate of Public Relation and Alumni Network (9/24/2025)